Siapa mengira orang dengan disabilitas tidak mampu berkegiatan sosial? Evi buktinya. Evi adalah seorang wanita yang tinggal bersama kakaknya di wilayah Godean. Dirinya menjadi dampingan Pusat Rehabilitasi YAKKUM melalui Program Kesehatan Jiwa berbasis Masyarakat sejak tahun 2017.
Aku Nita, seorang istri dengan penuh semangat mendidik anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Saat ini aku hidup bersama suami dan anak sematawangku di Desa Sidomoyo. Trauma terhadap kecelakaan membuatku menjadi disabilitas psikososial. Kehidupanku dulu tidak sebaik sekarang. Namun berkat suamiku, aku dapat kembali pulih.
Kepedulian Kepala Desa mengajak warganya untuk peduli dan bertanggung jawab sebagai caregiver bagi Orang Dengan Disabilitas Psikososial, merupakan contoh nyata praktik rehabilitasi sosial berbasis masyarakat. Desa Temon Wetan adalah salah satu desa dampingan Projek Ceplery di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, sejak tahun 2017. Tercatat, 12 Orang Dengan Disabilitas Psikososial yang didampingi dan 4 orang kader kesehatan jiwa.
Kini, saya dijadikan kader kesehatan oleh Puskesmas Awaru sebagai penyuluh PHBS di Sekolah Madrasah Aliyah dan Tsanawiyah. - tidak menyangka saya juga bisa memberikan penyuluhan, ikut andil seperti petugas atau perawat-. Juga telah menjadi delegasi desa pada musrenbang kecamatan sekaligus menjadi Tim Perumus RKP Desa Mallari.
Akhirnya aku mendapatkan hidupku kembali. Orang orang disekitarku mau menerima aku apa adanya setelah mereka terlibat dalam rehabilitasi jiwa berbasis masyarakat. Saat ini aku mampu menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris dan menjadi narasumber di berbagai acara. Yang lebih penting lagi saat ini aku merasa mampu melakukan hal hal yang tidak dapat aku bayangkan sebelumnya. - (Desty, 31 Tahun Orang dengan Disabilitas Psikososial)
Kesehatan mental itu penting, karena bermanfaat bagi diri sendiri. Ketika saya sehat mental, saya bisa beraktivitas dan menjalankan usaha.
Namanya Sriyanto, difabel Cerebral Palsy (CP), tinggal di Polokarto, Sukoharjo, Jawa Tengah. Jika berjalan, seluruh tubuhnya bergetar. Kakinya tidak menapak tanah dengan kokoh, seakan hendak terjatuh. Akibatnya ia dianggap tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang lain. Nggih namung ngoten niku. Mboten saget nopo-nopo (Ya hanya seperti itu, tidak bisa berbuat apa-apa), demikian komentar beberapa orang termasuk keluarga tentang Sriyanto.
Yusnita pernah mengalami depresi yang membuat kondisinya berubah secara ekstrim. Depresi terkadang membuatnya hanya berdiam di rumah dan tidak melakukan apapun atau justru membuatnya melakukan hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Sekarang, Yusnita telah menjadi pribadi yang mandiri dan menekuni pekerjaannya.
Erico yang berumur delapan belas tahun saat ini bercita-cita menjadi seorang pengusaha yang sukses agar ia mampu mempekerjakan penyandang disabilitas nantinya. Erico terlahir dengan kondisi kongenital yang mengakibatkan ia tidak mempunyai dua bagian bawah kaki dan telapak kaki. Awalnya kedua orang tuanya tidak tahu bagaimana menangani kondisinya, namun saat orang tuanya membawa ia ke Rumah Sakit Bethesda, dokter disana merujuk Erico ke Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRY).
Setelah mengalami luka-luka selama gempa Yogyakarta 2006, Sulistyo yang berusia 18 tahun terus berusaha untuk menjalani hidup sesuai persyaratannya. Sulistyo tinggal di Prambanan, salah satu daerah yang paling parah terkena dampak. Dia baru berusia 7 tahun pada saat gempa, tapi dia ingat bahwa dia berusaha melarikan diri dan menyelamatkan nyawanya. Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari atap dan menabrak tubuhnya dan dia tidak bisa merasakan kakinya.
YAKKUM
HelpAge International
Inklusi Australia - Indonesia Partnership
Australian Aid
CBM Global Disability Inclusion
UNFPA
Act Alliance
ALTSO
Ford Foundation
Miracle Feet
Light For The World
Program Peduli
Rehabilim Trust
Kinder Not Hilfe
Perhimpunan Jiwa Sehat
The Asia Foundation
PAFID
See You Foundation
RMIT University
Citylife Sehat
Komnas Perempuan
test